Amputasi (2)

Kali ini mama sy yang sms barusan,"Mba, Tatang kasian banget kakinya dipotong di bawah lutut. Kakinya ketabrak mobil, kegeleng, mama nungguin dari masuk ruang operasi sampai beres operasi. Begitu keluar dari ruang operasi, orang yang liat pada nangis semua, papa juga sampe sedih banget mba.. " Seumur-umur, papa sy jarang menampakkan kesedihan , dan ga pernah nangis. Jadi kalau mama bilang begitu, berarti ya... hem, hem, hem.. T_T

Bayangkan jika saudara anda yang terkena musibah itu, bayangkan jika saudara anda yang kakinya diamputasi..
Banyangkan jika anda menjadi orangtua yang melihat tiba-tiba anak anda harus kehilangan sepotong kakinya..
Bayangkan masa depan anak anda terkapar seketika suram di hadapan anda..
Bayangkan jika hal itu menimpa orang-orang terkasih anda, seberapa sedih hati anda?
Dan terakhir, bayangkan jika hal itu menimpa diri anda.. Bagaimana perasaan anda, dan bagaimana perasaan orangtua anda?

Bayangkan sepotong kaki anda hilang, seketika itu pula mimpi-mimpi besar anda di masa depan terhempas jauh, hilang melayang. Sebererapa meranakah anda? Pastinya perlu seribu satu usaha lagi mengumpulkan segenap asa yang tersisa untuk merajut sejuta mimpi-mimpi baru yang pastinya disesuaikan dengan kondisi baru anda: tanpa sebelah kaki! Innalillahi.. Lebih simpelnya lagi, bagaimana usaha anda mengumpulkan puing-puing semangat untuk menerima kondisi cacat yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya. Bagaimana kehidupan sosial anda, bagaimana permasalahan mengenai mimpi pendamping hidup anda, bagaimana kehidupan setelah menikah dan menjalani nisce anda setelah menikah, bagaimana dengan mimpi besar anda untuk membahagiakan orangtua anda, dsb..

Ayo renungkan..
Nanar...

Dia sama sekali tidak menangis melihat kenyataan kehilangan sebelah kakinya. Setelah siuman pasca operasi, sepupu sy yang usianya beberapa tahun lebih muda dari sy itu hanya berkata,"Seberapa panjang kakainya dipotong? Sampai sebatas mana? Tatang mau liat.."
Ah, Allah...
Hati sy mencelos.. Sy bisa bayangkan seberapa besar dia menahan gemuruh hebat di dadanya yang dia tahan kuat-kuat untuk dia sembunyikan. Seandainya jarak Bogor-Cirebon dekat, sy pasti sudah melarikan diri ke RS sana sekarang. Jadi saudaranya saja sudah bergemuruh hebat, apalagi jadi dianya? Ya Rahman...

Ayo kita renungkan lagi..
Ini sebetulnya teguran. Setidaknya teguran bagi sy. Disaat sy sibuk mengelola semua hal ini itu di kampus, menyusun maimpi-mimpi sy dalam bingkai yang indah, berusaha sebaik mungkin mempersiapkan diri menyambutnya (entah siapa), masih sempat bersanda gurau dengan teman-teman, masak-masak, terkadang masih merasa kurang atas pemberian-Nya, ingin segera disapih kesendiriannya, dll. Tapi disana, di sisi lain negeri ini, ada yang mimpinya baru saja terhempas, ada yang masa depannya baru saja melambai pergi dan berganti gulita (fikiran yang belum dimodifikasi dengan semangat). Hem, sy merasa betapa egois diri ini, sy telah lalai... Lalai mensyukuri nikmat-Nya, yang jika sy tuliskan seluruh samudera pun tidak anak cukup menjadi tintanya.

Allah, maafkan atas kealpaan sy. Ternyata, masih banyak titik-titik nikmat-Nya yang luput sy syukuri, sangat banyak.. Sebelum terlambat, ayo bersyukur untuk hal sekecil mungkin, setidaknya bersyukur atas kelengkapan anggota tubuh. Jangan meminta hal yang lebih tinggi lagi, jika masih banyak hal yang lupa anda syukuri. Semoga kita tidak menjadi golongan yang kufur nikmat. Amiinn..

 Semoga kejadian ini menjadi penggugur dosanya..

 Ya Allah, tolong mudahkan dia dengan Rahman dan Rahim-Mu...

No Response to "Amputasi (2)"

Post a Comment