MEMBERI DAN DIBERI

Sebetulnya saat ini sy ingin menulis mengenai fenomena sampah. Namun sy pending, sekarang akan sy bahas terlebih dahulu mengenai fenomena yang tidak kalah krusial yaitu fenomena memberi dan diberi. Sebetulnya sudah sy singgung di episode diary yang dulu, sekarang akan sy ulas kembali.

Kebanyakan orang akan tercetak dengan paradigma lebih suka diberi daripada memberi. Banyak orang yang mengatakan makanan yang paling enak adalah makanan yang didapat gratisan. Memang lumrah, dan manusiawi. Hanya saja, coba renungkan, benarkah demikian? Itu paradigma umum, paradigmanya orang kebanyakan. Paradigma yang benar seharusnya adalah merasa tidak enak kalau mendapat makanan gratisan. Mengapa? Itu berarti kita memposisikan diri sebagai tangan di bawah. Mau dianggap jadi pengemis? Enggak kan… :) Panjang lagi penjelasannya.

Jika pun ketika diberi yang gratisan lalu merasa senang, ya tidak apa-apa, itu wajar dan manusiawi. Namun, setelah itu coba deh untuk menegaskan di dalam hati,”Baiklah, saat ini sy yang ditraktir dan dapat gratisan, nanti giliran sy yang mentraktir dan ngasih gratisan ke orang” Minimalnya begitu. Jangan maunya dapat gratisan terus… Lalu apa bedanya dengan orang fakir? Syariatnya, fakir itu adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Namun hakekatnya, dalam hal ini fakir adalah orang yang selalu merasa kekurangan dan senang jika selalu diberi tanpa ada keinginan untuk memberi. Ini yang bahaya… Coba renungkan.

Level yang lebih tinggi lagi yaitu ketika kita merasa tidak enak hati ketika diberi oleh orang lain. Maksud tidak enak hati disini, yaitu karena hatinya telah terlatih untuk selalu memberi dan memberi tanpa berharap diberi. Dia tidak akan memperhitungkan pahala atau apapun, namun ia akan merasa sangat amat nikmat ketika bisa memberi. Seseoang dalam tahapan ini akan merasa sangat bahagia jika selalu bisa memberi meskipun dalam kondisi dirinya kekurangan. Ketika kita mampu memberi dalam keadaan berlebih, itu biasa.. Namun ketika tetap mampu memberi dalam keadaan serba kurang dan berkecukupan, itu baru luar biasa. Harta kita itu sebenarnya adalah apa yang sudah kita berikan, bukan apa yang sudah kita makan. Harta yang kita makan akan berkahir di pembuangan, dan selesai. Sedangkan harta yang kita berikan, itulah “aset” yang akan bekerja untuk kita dan akan menjadi tabungan yang memperberat amal kita.

Ketika sy singgung soal sedekah, infak, zakat, dan sejenisnya, misalnya secara rutin, sy tanya beberapa orang untuk minta kesediannya memberi ke anak yatim. Anda tahu jawabannya? Mereka semua menjawab yang secara garis besar: TIDAK BISA. Alasannya beragam. Ada yang bilang belum kerja lah, ada yang bilang buat keluarga dulu lah, ada yang bilang mau nabung dulu buat S2 lah, dsb. Padahal sy fikir , mereka sudah sy nilai mampu untuk rutin memberi ke anak yatim. Tapi ya jawabannya begitu… Padahal juga, sy tidak bilang infak sejumlah ‘sekian’, itu karena sy ingin mereka memberi sesuai keikhlasan. Mungkin bisa 50 rb, 100 rb, 1 jt, 2 jt, dsb yang lebih tinggi lagi. Untuk orang-orang yang sy tawarkan, jumlah segitu sy nilai mereka mampu. Dan sebetulnya, jika mereka mampu memberi, itu berarti mereka sedang melipatgandakan hartanya dengan ‘menabung’. Ingat, ketika kita memudahkan urusan orang lain, kelak urusan kita juga akan dipermudah oleh-Nya.

Sy jarang, bahkan belum pernah menemukan orang yang dengan senang hati menjawab,”Wah, boleh tuh, apa yang bisa saya bantu? Dengan senang hati…” Atau “Wah, boleh banget. Tapi sy mungkin ga bisa nyumbang banyak soalnya kamu tau kan sy juga berkecukupan. 50 ribu aja per bulan ga apa2 ya?” Seriusan, sy bakalan seneng banget kalau menemukan orang yang seperti itu. Ada sih, pasti ada, tapi sangat langka…. Kalapun ada yang mau nyumbang, pasti jawabnya,”Boleh, berapa nyumbangnya?” Ya, better lah ya daripada yang menolak memberi. Ada juga yang memang mau menyumbang, tapi harus pikir panjang. Atau ada juga yang sudah kerja dan gajinya terbilang besar tapi dia malah memilih yang jumlah sumbangannya paling kecil dan setara dengan orang yang belum punya penghasilan. Apa ga malu? Sy sih malu. Malu sama Allah… Emang rejeki itu siapa yang ngasih? Allah kan… Allah saja Maha Pemberi, masa kita hamba-Nya pelit? Naudzubillah. Anda tahu, saat anda ditodong pertanyaan untuk memberi, kalau anda sadari itulah saat ketika anda sedang ditawari hadiah, hadiah dari-Nya. Inget kan kalau memberi itu bisa memperpanjang usia dan melancarkan rejeki? Tapi eits, jangan sampai hati kita ujub, riya, dan takabur ya… Jangan sampai balasan yang dijanjikan Allah itu, jadi bikin kita ga ikhlas ketika memberi.

Ketika kita meminjamkan uang pun, baiknya saat itu kita berfikir untuk “memberi”. Sy kagum sama papah sy, papah sy ga pernah nagih piutang orang lain. Kecuali kalau kepepet banget, misalnya pas anak istrinya ga punya uang buat beli beras. Baru deh papah mau nagih. Buat papah, gengsi nagih hutang. Malu katanya… Ketika memberi pinjaman ke orang, itu sudah dikhlaskan menjadi pemberian. Kan malu kalau udah memberi ke orang terus diminta lagi? Hehehe..

Hal yang simple, di kosan misalnya. Ada temen kosan yang minjem telur atau minjem mie instan kita. Ya sudah ikhlaskan saja… Ga usah lah ditagih-tagih lagi. Ada yang lupa bayar pas dia nitip makan, ya sudahlah ga usah ditagih… Begitu juga kalau ada yang pinjam uang. Kalau dia inget dan dia bayar, ya terima. Kalau dia lupa, ya ikhlaskan. Kecuali kalau kitanya sangat amat butuh uang, ya tagih lah. Tapi kalau kitanya punya uang cukup, ya ikhlaskan saja. Bersyukurlah karena kita telah beramal. Hal yang sederhana juga misalnya, ada cucian piring di wastafel, itu bukan cucian piring atau gelas kita, tapi cucian milik teman kosan yang lain. Tapi ya sudahlah, kalau kita ga enak liat wastafel kotor, ya tinggal kita yang cuci… Amal toh? Ini mah kebanyakan orang ‘riweuh’ banget mempermasalahkan hal-hal sepele begitu. Ga mau dapat amal ya mbak, mas? :) Contoh lain, teman kamar bikin kamar berantakan ketika kita sudah capek bersih-bersih, ya sabar aja…. Itu juga memberi lho, memberi jasa. Ga usah lah mengumpat atau marah-marah. Tinggal dibersihkan lagi saja, trus kasih contoh teladan ke teman kamar. Sy kadang miris juga lihat fenomena-fenomena seperti itu. Hal kecil dipermasalahkan. Tidak perlu menyalahkan orang lain atau mencari siapa yang salah. Ngapain sih cari ribut, mendingan kerjain sama kita aja. Beres kan? :) Ga usah lah hal kecil dibikin ribet.

Kesimpulannya, bersyukurlah karena telah memeberi… Coba rasakan nikmatnya memberi… Hakekatnya, harta kita bertambah ketika kita memberi, bukan malah berkurang. Banyak orang yang tidak menyadari atau lupa akan hal itu.

Dan hati-hati lah terhadap fenomena fakir, yang merasa selalu ingin diberi dan tidak mau memberi. Gak apa-apa kita diberi, asal nantinya kita punya niat untuk memberi balik, jika tidak pada yang bersangkutan ya pada orang lain.
Jadilah oaring yang memiliki paradigma khusus! Jangan lagi mengatakan, ”Makanan yang paling enak adalah makanan hasil gratisan!” Bersenanghatilah ketika memberi, dan bersedih hatilah ketika diberi. Got it?

Punten kalau ada kesalahan, itu mutlak salah sy. Kalau memang ada kebenaran, itu ilmu dari-Nya. Yuk mari belajar bersama…. ^_^
Wallahualambishawab.

No Response to "MEMBERI DAN DIBERI"

Post a Comment